Jakarta - Sampai saat ini, Indonesia masih bergantung
kepada pangan impor. Termasuk gandum ataupun bawang putih yang saat ini
harganya tinggi dan masih bergantung pada impor.
Pengamat dan ahli pangan Indonesia Bustanul Arifin mengatakan, tahun lalu Indonesia mengimpor gandum 7 juta ton. Angka tersebut bisa terus meningkat jika Indonesia tidak segera melakukan terobosan baru untuk menghasilkan gandum sendiri.
Bustanul menyatakan, sebenarnya ada beberapa wilayah di Indonesia yang cocok ditanami gandum, hanya saja butuh kesungguhan dalam menanamnya dan ada dukungan pemerintah. Wilayah-wilayah itu meliputi Padang, Cirebon, Solo, dan Malang.
Institut Teknologi Bandung (ITB) pernah melakukan studi di Cirebon, Padang, Solo, dan Malang yang bisa ditanami gandum.
"Sama halnya bawang putih, gandum sebenarnya bisa cocok ditanam di Indonesia, tapi harus manipulasi seperti menggunakan gas rumah kaca jadi mengontrol suhu, air, dan udara tapi investasinya cukup tinggi. bisa kok kalau mau usaha," kata Bustanul saat dihubungi detikFinance, di Jakarta, Sabtu (9/3/13).
Dia mengatakan, secara kultur memang tidak banyak petani yang mau menanam gandum karena tidak mau ambil risiko. Menanam produk hortikultura lain yang lebih menguntungkan menjadi salah satu alasannya. Seperti halnya anggur, Indonesia bisa memproduksinya sendiri, namun secara kuantitas tidak mampu memenuhi kebutuhan permintaan konsumen. "Kalau anggur dan kiwi memang agak susah, tapi kalau bawang putih atau gandum bisa kalau diusahakan," ujarnya.
Dia menyebutkan, Indonesia memiliki total lahan seluas 191 juta hektar, di antaranya 100 juta hektar masih hutan, 8 juta hektar lahan kelapa sawit, 8 juta hektar sawah, dan sisanya lahan semak belukar. "Nah, lahan-lahan itu diantaranya bisa dimanfaatkan untuk menanam hortikultura. Jika serius bisa diatasi sehingga bisa mengurangi impor," cetusnya.
Terkait hal itu, Busatanul menambahkan, perlu campur tangan pemerintah dalam meningkatkan produksi produk-produk hortikultura agar tidak selalu bergantung pada impor. Campur tangan tersebut, kata dia, bisa dilakukan dengan mengikutsertakan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) untuk mengelola penananman produk-produk hortikultura seperti ganduum. "Peran BUMN perlu karena kan negara bisa ikut andil untuk pembiayaan," kata dia.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat sepanjang 2012 Indonesia mengimpor 415.000 ton bawang putih dari beberapa negara dengan nilai US$ 242,3 juta atau senilai Rp 2,3 triliun bawang putih.
Mayoritas bawang putih impor datang dari China yaitu sebanyak 410.100 ton dengan nilai US$ 239,4 juta atau Rp 2,27 triliun untuk periode Januari hingga Desember 2012.
Tercatat kegiatan impor bawang putih dari China ini berjalan sepanjang tahun, sementara ada beberapa negara lain yang memasukkan bawang putih ke dalam negeri seperti India, Malaysia, Pakistan, dan Thailand, tetapi impornya tidak terjadi setiap bulan dan tak signifikan.
Impor bawang putih dari India, total sepanjang tahun 2012 sebanyak 3.424 ton dengan nilai US$ 1,7 juta, impor dari Malaysia sebanyak 1.124 ton dengan nilai US$ 1,1 juta, bawang putih dari Pakistan sebanyak 203 ton dengan nilai US$ 81,2 ribu, dan Thailand sebesar 58 ton dengan nilai US$ 37 ribu.
Pengamat dan ahli pangan Indonesia Bustanul Arifin mengatakan, tahun lalu Indonesia mengimpor gandum 7 juta ton. Angka tersebut bisa terus meningkat jika Indonesia tidak segera melakukan terobosan baru untuk menghasilkan gandum sendiri.
Bustanul menyatakan, sebenarnya ada beberapa wilayah di Indonesia yang cocok ditanami gandum, hanya saja butuh kesungguhan dalam menanamnya dan ada dukungan pemerintah. Wilayah-wilayah itu meliputi Padang, Cirebon, Solo, dan Malang.
Institut Teknologi Bandung (ITB) pernah melakukan studi di Cirebon, Padang, Solo, dan Malang yang bisa ditanami gandum.
"Sama halnya bawang putih, gandum sebenarnya bisa cocok ditanam di Indonesia, tapi harus manipulasi seperti menggunakan gas rumah kaca jadi mengontrol suhu, air, dan udara tapi investasinya cukup tinggi. bisa kok kalau mau usaha," kata Bustanul saat dihubungi detikFinance, di Jakarta, Sabtu (9/3/13).
Dia mengatakan, secara kultur memang tidak banyak petani yang mau menanam gandum karena tidak mau ambil risiko. Menanam produk hortikultura lain yang lebih menguntungkan menjadi salah satu alasannya. Seperti halnya anggur, Indonesia bisa memproduksinya sendiri, namun secara kuantitas tidak mampu memenuhi kebutuhan permintaan konsumen. "Kalau anggur dan kiwi memang agak susah, tapi kalau bawang putih atau gandum bisa kalau diusahakan," ujarnya.
Dia menyebutkan, Indonesia memiliki total lahan seluas 191 juta hektar, di antaranya 100 juta hektar masih hutan, 8 juta hektar lahan kelapa sawit, 8 juta hektar sawah, dan sisanya lahan semak belukar. "Nah, lahan-lahan itu diantaranya bisa dimanfaatkan untuk menanam hortikultura. Jika serius bisa diatasi sehingga bisa mengurangi impor," cetusnya.
Terkait hal itu, Busatanul menambahkan, perlu campur tangan pemerintah dalam meningkatkan produksi produk-produk hortikultura agar tidak selalu bergantung pada impor. Campur tangan tersebut, kata dia, bisa dilakukan dengan mengikutsertakan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) untuk mengelola penananman produk-produk hortikultura seperti ganduum. "Peran BUMN perlu karena kan negara bisa ikut andil untuk pembiayaan," kata dia.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat sepanjang 2012 Indonesia mengimpor 415.000 ton bawang putih dari beberapa negara dengan nilai US$ 242,3 juta atau senilai Rp 2,3 triliun bawang putih.
Mayoritas bawang putih impor datang dari China yaitu sebanyak 410.100 ton dengan nilai US$ 239,4 juta atau Rp 2,27 triliun untuk periode Januari hingga Desember 2012.
Tercatat kegiatan impor bawang putih dari China ini berjalan sepanjang tahun, sementara ada beberapa negara lain yang memasukkan bawang putih ke dalam negeri seperti India, Malaysia, Pakistan, dan Thailand, tetapi impornya tidak terjadi setiap bulan dan tak signifikan.
Impor bawang putih dari India, total sepanjang tahun 2012 sebanyak 3.424 ton dengan nilai US$ 1,7 juta, impor dari Malaysia sebanyak 1.124 ton dengan nilai US$ 1,1 juta, bawang putih dari Pakistan sebanyak 203 ton dengan nilai US$ 81,2 ribu, dan Thailand sebesar 58 ton dengan nilai US$ 37 ribu.
sumber : detik.com
Jika Anda menyukai Artikel di blog ini, Silahkan
klik disini untuk berlangganan gratis via email, dengan begitu Anda akan mendapat kiriman artikel setiap ada artikel yang terbit di
Tanaman Indonesia
0 komentar:
Posting Komentar